M. Arman AZ
Aku sering berkhayal tinggal di rumah mungil di kaki
bukit. Hidup disana pasti tentram dan damai. Tiap sore ingin duduk di beranda
depan sambil memandang gugusan bukit, rimbun pepohonan, sawah yang membentang dan
tak lupa garis hitam yang membelah sawah. Yah.. itu adalah rel kereta api.
Menjelang magrib, biasanya ada kereta melintas dari Timur ke Barat. Entah
darimana asalnya. Entah kemana pula tujuannya.
Jika hujan datang, tak usah khawatir karena jika hujan sudah
reda, panoramanya sangat indah. Lengkungan pelangi yang mulai menyapa dan ular
raksasa hitam yang melewati beludru hijau dengan asap hitam mengepul dari
depan. Itu adalah gerbong kereta api yang sering melintas di sawah sekitar
gugusan bukit.
Semua khayalan itu aku tuangkan ke dalam buku gambar. Aku
memang suka menggambar. Menggunakan pensil kurangkai garis, lengkung hingga
membentuk bukit, gerbong kereta, pelangi, sawah, dan matahari. Tentu saja tak
lupa kuwarnai dengan krayon.
Esoknya kuhampiri Ibu
yang sedang merapikan baju.
“Gambar sebagus ini, sayang sekali jika tak ada
judulnya.” Jelas ibu
Tak sempat aku mengobrol banyak dengan ibu, datang
tetangga kami, Bu Nina. Obrolan kami pun terputus. Buku gambar kuletakkan
begitu saja di bawah meja ruang tamu. Hari-hari berikutnya kuhabiskan main
bersama teman-teman sebayaku di sekitar rumah.
Rata-rata penghuni bedeng sekitar rumahku adalah buruh
pabrik. Begitu juga orang tuaku. Bapak bekerja di pabrik keramik. Sedangkan ibu
bekerja sebagai buruh harian di pabrik sepatu. Sebelumnya ibu di rumah saja.
Masak, mencuci, dan beres-beres rumah.
Suatu malam, setelah 2 hari Ibu lembur , ibu minta
kupijiti. Aku mengeluh karena sejak Ibu kerja aku sering kesepian.
“Kebutuhan banyak, Tiara. Makan sehari-hari, biaya
sekolahmu, bayar kontrakan, dan lain-lain. Semua perlu uang kan? Gaji bapak
pas-pasan. Ibu bekerja hitung-hitung membantu beban bapak.”
“Tapi semenjak kerja, Ibu sering pulang malam.” Ucapku
“Itu kan kalau ada lembur saja. Upahnya lumayan, bisa ditabung.”
Jawab ibu
Aku diam saja. Mungkin benar kata ibu.
***
Suatu ketika bapak dan temannya demo minta naik gaji.
Bedeng kami dijadikan markas mereka. Kulihat banyak orang berebut bicara. Ada
juga yang sedang menyiapkan perlengkapan demo. Setelah demo reda, buruh-buruh
yang membangkan dipecat, termasuk bapak. Sejak saat itu ibu menjadi tulang
punggung keluarga. Semakin berat saja beban ibu. Seharian bekerja, masak,
mencuci dan membereskan rumah. Kurasakan lelah diwajah ibu, namun ibu tak
pernah mengeluh.
Setelah dipecat, lambat laun sikap bapak semakin berubah.
Menjadi kasar dan pemarah. Pernah kupergoki bapak bejudi di gardu ronda. Sering
sekali bapak membentak aku dan ibu tanpa sebab. Mungkin bapak kehabisan akal
karena terlalu lama menganggur. Tapi, entah kenapa, bapak tak kehabisan akal
untuk memarahi ibu. Hingga tibalah saat itu, karena tak tahan dengan sikap
bapak, akhirnya ibu menuntut cerai.
Dua minggu setelah cerai, ibu membawaku ke rumah nenek di
pulau sebrang. Rumah nenek agak jauh dari kota. Memasuki gang-gang dan melewati
jalan berbatu. Dari kejauhan kulihat rumah nenek. Sebuah bangunan tua. Catnya
kusam. Berpagar daun sirih.
Sekarang aku dan nenek berdua saja. Sudah setahun ibu
bekerja di Singapura. Menjadi pembantu di sebuah apartemen. Sesuai kontrak
kerjanya ibu baru bisa pulang tahun depan. Sebenarnya aku tak mau ibu pergi
jauh. Tapi selalu terngiang ditelingaku obrolan ibu dan nenek malam itu.
“Singapura itu jauh Laras. Apalagi kamu perempuan, sangat
besar resikonya.”
“Kerja dimanapun Laras bisa jaga diri, yang penting
halal. Kerja disana lumayan bu, bisa untuk biaya ibu dan melanjutkan sekolah
Tiara.”
“Memang tidak ada lagi pekerjaan disini?”
“Negeri ini sudah tidak bisa memberi kita apa-apa bu.”
“Terus bagaimana dengan anakmu?”
“Laras titip Tiara bu, jaga dia. Jelaskan bahwa saya
pergi untuk cari uang. Kasian Tiara sudah lama berhenti sekolah.”
Ya, mestinya aku sekarang sudah kelas enam SD. Sejak
pindah kerumah nenek aku tak sekolah lagi. Ibu tak ada biaya. Sebenarnya aku
sudah terlanjur malu untuk sekolah lagi.
***
Aku terjaga dari tidur. Sudah lewat tengah malam. Sambil
terlentang di atas dipan kutatap langit-langit kamar. Malam ini terasa aneh,
sepi tak ada suara apapun. Hanya terdengar detak jam dinding di ruang tamu.
Ngilu dan menggelisahkan.
Tiba-tiba aku teringat dengan ibu. Bagaimana kabarnya
disana? Apakah baik-baik saja? Sudah lama Pak pos tak mengantar surat. Apakah
disana ibu terlalu sibuk hingga tak sempat menulis surat untukku? Aku rindu
ibu. Menunggu ibu rasanya panjang dan menyiksa.
Aku bangkit dari dipan dan membuka laci lemari paling
bawah. Kuambil buku gambarku. Waktu telah membuatnya makin kusam. Ibu adalah
satu-satunya alasan ku untuk menyimpan buku gambar ini.
Kubuka lembar demi lembar. Di halaman terakhir ada gambar
yang membuatku bersalah. Gambar bukit, pelangi, gerbong kereta api, sawah, dan
matahari. Dengan krayon hitam tertera sebaris kalimat : kereta bertudung
pelangi senja. Sayang, aku tak sempat menunjukkannya pada ibu. Judul itu kubuat
beberapa hari setelah ibu pergi.
***
Beberapa hari belakangan, banyak tamu datang ke rumah.
Entah siapa dan ada urusan apa mereka dengan nenek. Sore ini aku pergi ke rumah
Siska. Dia punya sepeda baru. Kami berjanji untuk main bersama.
Sambil mengayuh sepeda, Siska meledekku. Katanya ibuku
sekarang jadi terkenal, sering masuk di televisi. Lalu, Siska memberitahuku
siapa yang datang ke rumahku. Katanya, mereka wartawan dan reporter televisi.
Tapi, aku tersentak saat Siska berkata ibuku meninggal di Singapura.
“Ah, jangan sok tau. Ibuku masih hidup. Pulangnya tahun
depan.”
“Kamu yang sok tau! Kamu kan nggak punya teve! Makanya
beli dong, biar nggak ketinggalan berita!”
Aku terdiam mendengarnya. Rasanya ada sesuatu yang
menusuk hatiku. Rasanya sangat sakit.
***
Rumah nenek dipenuhi saudara dan tetangga ketika aku
pulang. Kulihat nenek duduk lemas, diapit beberapa tetangga dan menangis
sesenggukan. Beberapa ibu pengajian membujukku untuk duduk dekat nenek.
Cerita itu kukunyah sedikit demi sedikit. Ketika ibu
sendirian di apartemen, sepupu lelaki majikannya membawa dua orang temannya.
Mereka mau memperkosa ibu. Ibu berontak dan terjun dari lantai empat belas.
Keesokkan hari, kulihat iring-iringan mobil berhenti di
tanah becek samping rumah. Hujan baru reda. Tapi tak ada lengkungan pelangi.
Orang-orang berebut mengerumuni ambulan. Terlihat beberapa lelaki membopong
peti coklat besar ke dalam rumah. Meletakkan di atas tikar pandan yang menutupi
ruang tamu. Aku sulit bernafas ketika melihatnya.
Aku tak percaya wajah pucat dalam peti itu adalah ibu.
Aku berjalan mendekati ibu. Aku berbisik kepada ibu. Meminta maaf karena
terlambat memenuhi permintaan ibu. Juga kukatakan gambar itu sudah kuberi
judul. Tapi ibu diam, mulutnya tertutup dan kelopak matanya tetap terkatup.
Orang-orang menangis. Tapi aku tak sanggup meniru mereka.
Karena air mata takkan membangunkan ibu.